Ilustrasi dari Inet
Saudaraku..
Sesampainya di Madinah dan setelah membangun masjid, Nabi saw
mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di rumah Abu
Thalhah Al Khazraji ra. Karena tanpa persaudaraan Islam, mustahil sebuah
proyek besar; membangun sebuah pemerintahan Islam akan terwujud di alam
realita. Ukhuwah imaniyah, merupakan pilar yang sangat vital untuk
membangun sebuah masyarakat madani.
Setelah beberapa bulan berselang, Rasulullah saw mempersaudarakan
antara Salman Al Farisi dengan Abu Darda. Meskipun Salman bukan dari
bangsa Arab, tetapi Persia. Sedangkan Abu Darda’ termasuk sahabat Anshar
yang paling akhir memeluk Islam.
Persaudaraan Islam ini, bahkan melandasi al tawaruts ‘saling
mewarisi’ di antara mereka sehingga turun ayat: 75 dari surat Al Anfal,
yang melarang hal tersebut.
Saudaraku..
Banyak kisah keteladanan dari sosok Abu Darda’ dan Salman Al Farisi, yang membuat kita terpesona karenanya.
Di antaranya seperti disebutkan oleh syekh Hasan Zakaria Falaifil, berikut petikannya,
Salman Al Farisi pernah mengutus Abu Darda’ untuk meminang seorang gadis muslimah untuknya.
Sesampainya di tempat yang dituju, Abu Darda’ menyebutkan beberapa
keutamaan Salman kepada orang tua si gadis; prestasinya yang gemilang di
dalam Islam, ia lebih dulu memeluk Islam daripada dirinya, idenya yang
brilian untuk membuat parit di perang Khandaq dan lain sebagainya. Lalu
Ia mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu; mempersunting sang puteri
untuk Salman.
Mereka berkata, “Kami tidak akan menikahkan Salman dengan puteri
kami. Sebab kami akan menikahkannya denganmu.” Saat itu pula keduanya
dinikahkan.
Setelah bertemu Salman beberapa hari berikutnya Abu Darda’ berkata,
“Aku riskan dan malu untuk menyampaikan berita ini kepadamu.”
“Berita apa itu?,” kata Salman.
Lalu Abu Darda’ menceritakan peristiwa yang dia alami.
Saudaraku..
Apakah Salman Al Farisi marah dan kecewa dengan Abu Darda’ dan memfonis
bahwa ia telah mengkhianati dirinya? Atau ia memutus persaudaraan Islam
yang telah diikat oleh Nabi saw terhadap keduanya?. Tidak, itulah
jawabannya.
Salman berkata, “Semestinya aku yang harus merasa malu kepadamu.
Karena aku menginginkan seorang gadis menjadi pendamping hidupku
sementara Allah Swt telah menetapkannya untukmu.”
Allahu Akbar! Teramat bening dan putih hatimu wahai Salman, sahabat
Nabi pilihan. Walaupun engkau adalah ajnabi, non Arab. Tapi engkau
menjadi cermin bagi semua.
Saudaraku…
Itulah kisah ‘salamatus shadr’ lapang dada, yang semestinya dimiliki
oleh setiap muslim. Lapang dada merupakan tingkat terendah dari ukhuwah
imaniyah. Artinya, persaudaraan iman hanya menjadi fatamorgana belaka
jika tiada lapang dada dalam hidup kita.
Dunia yang luas terasa sempit, pengap, menyesakkan hati jika dada
kita sempit. Jadi kitalah yang dapat menciptakan ketenangan, kedamaian,
keluasan, kelapangan hati dan ketenteraman jiwa. Lapang dada, itulah
kuncinya.
Terkadang kita merasa terbebani dengan penilaian miring orang lain
terhadap kita. Atau ucapan orang lain yang melukai perasaan kita. Atau
dengan peristiwa gelap yang menempel di langit harapan dan cita-cita
kita.
Awan mendung dendam kita biarkan mengotori cerahnya suasana hati
kita. Benih-benih su’uzhan tidak segera kita cabut dari ladang jiwa
kita. Kita tidak berlindung dari hawa hasut yang menerpa wajah dan
pikiran kita. Dan begitu seterusnya.
Akibatnya alam sekitar, kita rasakan gelap gulita. Dada terasa sempit. Dan tiada seulas senyum mengiringi hari-hari kita.
Ada beberapa mutiara nasihat dari kisah di atas:
• Kerja-kerja besar di dalam Islam, termasuk membangun masyarakat madani
tanpa didasari dengan ukhuwah imaniyah adalah ibarat panggang jauh dari
api.
• Persaudaraan yang lahir dari tampilan zahir dan dipicu oleh
kepentingan adalah persaudaraan semu. Seperti; ketampanan wajah dan
paras yang menarik. Kekayaan maupun jabatan. Keturunan ningrat ataupun
karir yang dikejar. Semangat nasionalisme ataupun fanatisme golongan.
Maslahat duniawi maupun mazhab, partai dan seterusnya. Karena agama dan
iman, maka persaudaraan Islam akan langgeng dan abadi. Keindahannya juga
dapat dinikmati dalam hidup kita.
• Orang tua si gadis yang menikahkan putrinya dengan Abu Darda’
adalah manusia biasa. Yang memiliki keinginan dan harapan sebagai
manusia. Yang memilih menantu terbaik dalam pandangannya sebagai
manusia. Bisa jadi Abu Darda’ lebih familiar di telinganya daripada
Salman Al Farisi. Bukan karena dia sahabat Anshar dan Salman adalah
Ajnabi (non Arab). Lebih karena Abu Darda’ dikenal sebagai sahabat yang
zuhud, ahli ibadah dan dikenal rajin mendo’akan orang lain.
• Abu Darda’ mengajari kita, untuk selalu meminta maaf kepada orang
lain yang telah memberi kita suatu amanah atau tugas. Karena bisa jadi
menurut kita suatu amanah ataupun tugas yang dibebankan kepada kita,
telah kita tunaikan dengan baik. Namun dalam pandangan orang yang
memberi amanah atau tugas, masih ada kekurangan dan ketidak sempurnaan
dalam pelaksanaannya.
• Salman ra menjadi teladan kita dalam masalah salamatus shadr,
lapang dada. Jika kita yang mengalami peristiwa seperti yang dialami
oleh Salman. Mungkin kita sangat terpukul. Orang tua dan kerabat kita
kecewa dan marah. Jalinan persaudaraan pun terputus. Dendam tak
terelakkan. Laknat dan kutukanpun muncul. Tapi dengan lapang dada semua
itu dapat dihindari. Justru Salman dapat mengembalikan semua persoalan
itu kepada takdir Allah Swt yang telah ditetapkan-Nya baginya.
Saudaraku..
Sudahkah kita berlapang dada hari ini? Wallahu a’lam bishawab.
Sumber: Status Ustadz Abu Ja’far
(http://www.facebook.com/profile.php?id=100000992948094)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar